Kamis, 26 Januari 2017

Kemiri Sunan: Alternatif Energi Ramah Lingkungan?


Setahun belakangan ini, saya begitu banyak mendapat kesempatan memperoleh informasi dan ilmu yang bagi saya baru, berkenaan dengan lingkungan. Isu perubahan iklim bukanlah hal yang ada di awang awang. Banyak sekali masalah yang kait mengait, dari persoalan strategi pembangunan yang salah, korupsi pelaku bisnis yang rakus dan merusak alam, hingga gaya hidup kita yang memang cenderung tak bersahabat pada alam. 

Hari ini, 10 Januari 2017, saya baru saja pulang dari Lamongan, Gresik, untuk melihat pohon Kemiri Sunan. Saya tak tahu banyak tentang pohon ini. Setelah saya amati, pohon ini terlihat begitu rimbun, cepat sekali tumbuh, dan memiliki buah dengan biji yang dapat diperas menjadi bahan biofuel (solar). Pohon yang memiliki akar tunggang ini, jelas memiliki potensi sebagai pohon yang dapat menyelesaikan tiga  masalah: 1) bila ditanam untuk penghijauan di bukit gundul, bisa mengatasi masalah bahaya longsor, 2) karena lebatnya daun, bisa menjadi bagian dari solusi dalam mengurangi pemanasan global karena menurunkan emisi karbon, dan 3) dapat dijadikan bahan energi alternatif (biofuel) terbarukan (renewable energy).

Nah, masalahnya, seberapa jauh pemerintah ada  visi ke depan untuk mendukung pemanfaatan Kemiri Sunan ini? Apakah ini tanggung-jawab Kementrian  ESDM untuk mengembangkannya atau gabungan beberapa kementrian? Bila pemerintah kekuatan masih terbatas, apakah ada pihak lain yang bersedia merintis tumbuhnya gerakan pemanfaatan Kemiri Sunan untuk mengatasi masalah lingkungan yang kita hadapi? Perusahaan besar seperti Pertamina atau PLN, atau perusahaan lain yang bergerak di bidang energi harusnya mendukung.

Ingat energi kita saat ini sangat tergantung pada batu bara yang sangat polutif (mencemarkan). Kebutuhan listrik yang kita pakai sehari-hari bertumpu pada batubara yang kita tambang dari bumi. Itupun diperkirakan akan habis tahun 2035. Jadi, kita akan mengalami krisis hebat, tak lama lagi bila kita tak rajin mencari alternatif energi. Ingat, sekali lagi, itu diperkirakan terjadi pada 2035. 

Akankah kita berpangku tangan tak giat cari alternatif sumber energi lain yang ramah lingkungan? Mungkin saja pohon Kemiri Sunan pemberian Tuhan sebagai solusi masa depan. Atau ada alternatif lain?

#iPras 2017


Islam dan Energi Terbarukan

ISLAM DAN ENERGI TERBARUKAN
Oleh:
Fachruddin M. Mangunjaya 

Konferensi PPB untuk Perubahan Iklim (COP22) tahun ini berlangsung di Marrakesh, Maroko, November lalu. Bagi dunia Islam, setelah diumumkan Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim di Istanbul pada 2015, inisiatif gerakan iklim sewajarnya semakin masif dilakukan, termasuk kegiatan yang dilakukan di berbagai belahan dunia Islam. 

Sebagai bagian dari penghuni planet bumi, umat Islam harus ambil bagian sebagai pemberi solusi, bukan sebaliknya. Karena itulah kita bergembira tahun ini. Ada komitmen penting negara muslim sebagai penanda tangan COP dan sangat penting ada aksi nyata yang ditunjukkan oleh umat Islam untuk perubahan iklim dengan basis keimanan. Maroko, misalnya, telah memulai gerakan dengan menggunakan energi terbarukan yang memanfaatkan tenaga matahari. Negara ini mempunyai ambisi menjadi contoh sebagai negara Afrika yang menggunakan panel surya terbesar di daratan Afrika Utara. Baru-baru ini, mereka mengumumkan akan membantu pembangunan panel surya di 600 masjid untuk menurunkan dampak perubahan iklim pada 2019. Ada 100 masjid yang akan diselesaikan pada akhir tahun ini.Pemerintah Maroko sudah memasang panel surya antara lain di masjid bersejarah Al Qotubiah di Marrakesh dengan papan pemantau emisi dan efisiensi energi.

 Tentu saja ini sebuah langkah awal yang besar dan pemerintah, melalui Kementerian Agama, akan menginisiasi 70 persen investasi dari kegi-atan tersebut, yang bergandengan tangan dengan para aktivis lingkungan serta dibantu oleh pemerintah Jerman. Hal yang sama juga telah dilakukan di 400 dari 6.300 masjid di Yordania tahun lalu. 

Di sisi arena COP22, yang dilakukan oleh Global Muslim Climate Network (GMCN), Indonesia tidak ketinggalan mengumumkan sebuah aplikasi Green Hajj, sebuah petunjuk haji ramah lingkungan berbasis telepon pintar yang disumbangkan oleh dunia akademis dari Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional. Sebelumnya, Indonesia juga sudah mencanangkan Program Ekomasjid (masjid ramah lingkungan) yang dipelopori oleh Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia. Kegiatan ini mengusung program penghematan air wudu dan penanaman pohon di berbagai masjid.

Di Pavilion Indonesia pada COP22, MUI juga mengumumkan kontribusinya atas pelarangan pembakaran hutan dan lahan, yakni berupa fatwa kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan dan pembukaan lahan-lahan baru merupakan 80 persen kontribusi Indonesia dalam perubahan iklim. Jadi, dengan mencegah pembukaan lahan dan hutan yang efektif, Indonesia dapat berkontribusi  signifikan  untuk pengurangan (mitigasi) dalam mengatasi perubahan iklim.Perubahan iklim memang tengah nyata terjadi. Tapi kita menyaksikan sesungguhnya selama bertahun-tahun sebuah paradoks juga berlangsung di dunia muslim. Di satu sisi, umat Islam, yang mewakili lebih dari seperlima populasi global, hidup di beberapa daerah yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim, seperti Turki dan Timur Tengah dengan kekeringan yang semakin meningkat serta banjir tak berkesudahan di Bangladesh dan Indonesia yang kerap kita saksikan.

Sangat disayangkan, hari ini masih banyak negara berpenduduk mayoritas muslim terus berkontribusi terhadap perubahan iklim dengan menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara, gas, dan minyak dalam jumlah berlebihan.

 Sekarang sudah saatnya umat Islam berkonsentrasi pada energi terbarukan, terutama di negara pengimpor minyak seperti Indonesia. Indonesia sudah seharusnya menggunakan potensi energi alternatif seperti geothermal yang ada di beberapa kawasan di Sumatera dan Jawa serta secara massif beralih ke energi surya. 

Sangat disayangkan pula Indonesia telah memutuskan pembangunan energi tidak terbarukan selama 2014-2019—untuk menghasilkan listrik bertenaga 35 ribu megawatt—berbasis batu bara yang berdampak bukan saja pada kontribusi gas-gas rumah kaca, tapi juga pada lingkungan yang tercemar dan bumi yang berlubang. 

Ada dampak fatal lainnya yang dikaji oleh UNICEF pada 2016 bahwa batu bara adalah salah satu kontributor terbesar atas tiga juta kematian bayi prematur setiap tahun yang disebabkan  oleh penyakit terkait dengan polusi udara.Jalan pembangunan yang kita tempuh, dengan energi berbasis batu bara, jelas bertentangan dengan maqasid syariah. Jika fakta terjadi demikian, sudah saatnya pemerintah dan lembaga keuangan Islam, seperti Bank Pembangunan Islam, berkontribusi dengan menggeser arus keuangan dari pembangkit listrik bersumber fosil ke investasi pada energi yang berkelanjutan dan bersih. 

Fachruddin M. Mangunjaya
Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional

Sabtu, 14 Januari 2017

Ditjen EBTKE Siapkan Kebun Energi

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM,Rida Mulyana usai wawancara dengan
MigasReview diruang kerjanya di gedung EBTKE\(Fachry Latief/MigasReview.com)

MigasReview , Jakarta – Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan suatu program bernama ‘Kebun Energi’ untuk memasok biodiesel dan bioethanol dengan memanfaatkan tanah-tanah yang tak lagi produktif.
Program ini nantinya akan melibatkan banyak petani kecil di mana mereka tidak hanya menyiapkan di hulu, melainkan juga mempunyai saham di pabrik pengolahannya.  Berkaca dari kegagalan program energi tanaman jarak pagar, pengelolaan kebun ini energi nantinya dilakukan secara terintegrasi dan lintas kementerian dengan offtaker yang jelas.

Berikut penjelasan Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana kepada MigasReview pekan lalu: Setelah pemerintah menerapkan program-program pengembangan energi baru terbarukan dengan minyak kelapa sawit, apa lagi yang disiapkan untuk mengembangkan biodiesel generasi kedua?
Sekarang kami sedang membuat program bernama ‘Kebun Energi’ yang terintergrasi, kebun yang khusus disiapkan untuk menanam pohon-pohon yang dijadikan energi. Kebun ini terutama memanfaatkan areal bekas lahan tambang dan lahan kritis yang banyak di Indonesia. Saya akan mengirim surat ke Gubernur Kalimantan Tengah untuk menyinergikan program ini. Di sana banyak lahan kritis dan lahan telantar sehingga saya akan meminta izin agar lahan tersebut ditanami untuk energi. Ini bukan surat yang pertama. Kemarin Gubernur Kalimantan Barat juga sudah saya kirimi surat.

Berapa luas Kebun Energi ini?

Target jangka pendeknya 7.000 hektare dan target jangka panjangnya 40.000 hektare. Di Pulau Sumba sudah kami buat percontohan di atas lahan seluas 100 hektare yang diintegrasikan. Kami menyediakan lahannya, cara menanamnya, bagaimana panennya, pengolahannya hingga penggunaannya. Kami regulasi industri bisnis agar saling terintergrasi. Bisnisnya macam apa, rangkaiannya macam apa yang dilalui, izinnya macam apa, kami garap itu.

Apa saja tanaman yang dikembangkan?

Di Pulau Sumba, kami menanam kaliandra yang biasa digunakan untuk wood pellet (pelet kayu) karena cepat tumbuh dan mudah dibakar. Korea dan Vietnam banyak mengimpor kaliandra dari kita karena lebih menguntungkan bagi para pengusaha di sana.
Apakah Kebun Energi melibatkan petani kecil?
Sekarang kita harus inklusif. Petani harus dilibatkan dari hulu sampai hilir. Petani tidak hanya menyiapkan di hulu melainkan juga mempunyai saham di pabrik pengolahannya. Dengan demikian, pabrik pengolahannya tidak akan berhenti akibat tidak ada suplai dari petani karena mereka sudah punya rasa memiliki pabrik tersebut melalui saham. Dengan demikian, akan terjadi keberlanjutan dari satu titik ke titik lainnya. Intinya harus jadi sesuatu yang terpadu dan pemiliknya sama. Kita bisa menghindari apa yang terjadi di Lampung di mana para petani menanam singkong untuk ethanol. Saat itu, PT Medco Ethanol Lampung melakukan kontrak jual beli dengan petani. Ketika harga ekspor singkong lebih tinggi daripada harga beli oleh Medco, petani lebih memilih ekspor singkong meskipun terikat kontrak. Petani tidak peduli dengan kontrak karena yang terpenting bisa ekspor.
Bagaimana caranya petani bisa mempunyai saham di pabrik?
Kemungkinannya seperti ini, pabrik memberikan keuntungan bagi perusahaan. Sebagian keuntungannya diberikan kepada petani dalam bentuk saham. Dividen dari saham petani digunakan untuk membeli saham lagi. Dengan ‘modal dengkul’ saja lama-lama petani punya saham di situ. Itu akan mengikat petani. Dengan demikian, mereka membutuhkan pabrik tersebut karena mempunyai kepemilikan di sana. Nah, Kebun Energi ini akan didesain seperti itu. Kami regulate yang punya kebun siapa dan yang punya pabrik siapa. Rangkaian ini harus diamankan dalam satu jalur. Pabik pengolahan nantinya menghasilkan limbah yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik tenaga biomassa. Petani juga punya saham di situ.

Apa langkah antisipasinya sehingga tidak terulang kegagalan seperti yang terjadi saat pengembangan jarak pagar dulu?

Kami belajar dari kelemahan pengembangan jarak pagar. Kesalahannya adalah tidak teritergrasinya dari hulu sampai hilir. Pengembangan di hulu digembar-gemborkan sampai ke masyarakat kecil namun offtaker atau siapa penampung dan siapa yang mengolahnya di hilir tidak disiapkan. Ke depannya akan seperti plasma inti. Siapa yang bertanggung jawab di hulu, penampungnya siapa, dan pengolahnya siapa.
Selain kelapa sawit, tanaman lain apa yang juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai biodiesel?
Kami tengah menjajaki kemiri sunan sebagai generasi kedua untuk mengembangkan biodiesel. Kemiri ini tidak bisa dikonsumsi. Karena cepat tumbuh dan bandel, di batu cadas pun dapat tumbuh maka dijuluki kemiri yang sakti seperti sunan. Kemiri sunan akan ditanam di lahan-lahan yang kritis. Nah, kemiri ini mampu menghasilkan biodiesel lebih tinggi daripada CPO.
Selain biodiesel untuk campuran Solar, apakah mandatori juga bisa diterapkan pada bensin?
Mandatori ini sebenarnya diberlakukan untuk keduanya, biodiesel ke Solar dan etahnol ke bensin. Hanya saja, kebijakan ini dimulai dengan melihat dahulu sumbernya. Kalau biodiesel, sumber awalnya sudah melimpah yaitu CPO. Namun Brasil sudah menerapkan E85, yang artinya 85 persen ethanol dan 15 persen bensin. Mereka punya sumber ethanolnya berupa tebu. Thailand punya sumber ethanol dari singkong sedangkan kita jago di CPO untuk biodiesel. Ke depan, kita juga akan masuk ke ethanol, tapi sekarang satu-satu dulu kita benahi.

Apa upaya kita untuk masuk ke bioethanol?

Kami mulai mendorong PTPN untuk mengembangkan hulu ethanolnya. Mereka akan mengembangkan ethanol full grade yang kelasnya untuk bahan bakar. Sumbernya berasal dari tebu. Kami juga mendorong Pertamina untuk bekerja sama dengan PTPN karena di Pertamina juga ada Direktur Energi Baru Terbarukan Yenny Handayani.  Semua ini akan kita kembangkan agar kita tidak ketergantungan pada impor BBM mengingat karena 60 persen BBM berasal dari impor.
Jika ethanol berkembang, istilahnya ‘dua tiga pulau terlampaui’. Indonesia kekurangan gula. Kalau kita kembangkan pabrik ethanol, pasti ada pabrik gula juga, dan akan ada pembangkit listriknya. Kita butuh lebih banyak lapangan kerja. Nantinya akan ada banyak lapangan pekerjaan yang tercipta. Ethanol akan menyelesaikan bukan hanya persoalan bahan bakar tapi juga masalah pangan.
Namun kewenangan ini bukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melainkan di Kementerian Pertanian. Kalau dulu koordinasi lebih sulit karena masing-masing punya visi misi dan target sendiri-sendiri, kalau sekarang, mereka lebih ‘cair’. (tyo raha)

Rabu, 11 Januari 2017

Menyelamatkan Lingkungan, Berawal dari Revolusi Mental

Dalam hidupnya, manusia akan selalu berhadapan dengan tantangan dan perubahan. Yang sering terjadi, sebagian besar bukanlah kesulitan itu sendiri, namun reaksi pikiran kita. Bayangkan jika Anda adalah seseorang yang tidak bisa berenang. Suatu hari, tiba-tiba ada rekan mengajak Anda menyelam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat yang keindahan bawah lautnya sudah sangat terkenal di dunia.
Jika menyukai tantangan, anda akan berkata, “Oke. Beri saya waktu belajar berenang dan menyelam. Saya pasti bisa, tapi tolong beri waktu.” Kemungkinan kedua, nyali Anda langsung ciut karena sudah berpikir macam-macam: berenang saja tidak bisa, apalagi menyelam. Bisa mati tenggelam aku! Jadi Anda akan menjawab, “Kamu gila ya ngajak saya nyelam? Berenang saja nggak bisa!”
Bukankah ini yang sering kita alami dalam mengarungi tantangan yang datang dalam kehidupan?
Penanaman pohon di sekolah oleh para guru dan siswa, usai Tropical Society menyampaikan
materi tentang perubahan iklim
Hal yang sama berlaku saat Anda disodori tawaran meminimalisasi pemanasan global. “Kita perlu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Cuaca dan iklim makin tak tentu. Lakukan sesuatu untuk menguranginya. Yuk, naik angkutan umum, hemat energi, jaga hutan, atau apapun…” Bagaimana reaksi Anda jika ada tawaran semacam ini? Tidak peduli atau malah tertawa terbahak-bahak?
Mungkin Anda berpikir bahwa ide mengurangi dampak perubahan iklim adalah ide filosofis yang tak terjangkau. Mungkin pula Anda berpikir tidak mungkin karena dampak perubahan iklim sudah tak dapat dicegah. Kemacetan saja sudah mengesalkan karena pekerjaan terganggu, apalagi harus memikirkan cara mencegah perubahan iklim. Lagipula, belum tentu banjir disebabkan perubahan iklim. Bisa saja karena tingginya curah hujan yang berlangsung berhari-hari tanpa henti.
Manusia memang memiliki pilihan bebas. Yang perlu dicatat, kita tidak perlu berpikir muluk untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Semua dapat dilakukan sesuai dengan bidang Anda masing-masing.
Jika Anda adalah musisi, buatlah musik-musik yang menginspirasi orang lain untuk peduli pada isu perubahan iklim. Jika Anda adalah pengusaha, jadilah pengusaha yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika Anda adalah arsitek, rancanglah desain bangunan yang ramah lingkungan. Jika Anda adalah chef, buatlah masakan sehat yang tidak merusak lingkungan. Jika Anda adalah orang tua, berikan contoh yang baik pada anak-anak bagaimana caranya merawat dan menjaga lingkungan
Percayalah bahwa jika masing-masing pihak menjalankan tugas masing-masing sesuai fungsinya, “harmoni” akan tercipta. Sebuah blender atau juicer dapat menghasilkan jus yang nikmat jika listrik menyala dan setiap fungsi mesin berjalan sempurna. Salah satunya rusak akan menghambat yang lain. Demikian pula dengan perubahan iklim.
Jika hanya ilmuwan atau seniman yang bergerak tanpa dukungan pemerintah, penanganan dampak melambat. Tantangan baru dapat teratasi jika seluruh pihak yang terlibat mau bergerak bersama. Sebelum kerjasama terjadi, perlu keinginan bersama meski bukan merupakan hal mudah. Berita baiknya, tantangan membuat karakter kita makin teruji. 
Anak-anak sedang belajar mengidentifikasi daun di Sekolah Alam Bentangor
Pampang Environmental Education Center 
Jika Jepang tak sering dilanda gempa, kecil kemungkinan daya inovasi mereka dalam merancang struktur bangunan yang kokoh teruji. Kecil kemungkinan mereka menjadi bangsa yang tahan banting. Tsunami hebat yang kerap menerjang Jepang justru melahirkan daya cipta yang hebat. Keamanan nuklir mereka makin teruji. Ego tereduksi, kedisiplinan dan kerja keras pun makin terasah.
Dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di negara kita mungkin tak seheboh tsunami Jepang. Para ilmuwan telah sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia itu sendiri. Artinya, potensi bencana dapat kita minimalisir meski terkadang tak dapat kita hindari.
Barang bukti begitu nyata seperti fenomena cuaca ekstrim yang telah kita alami. Bagi Anda yang tinggal di ibukota, cuaca awal tahun 2015 mungkin menjadi momok mengerikan. Banjir dan kemacetan parah tak terhindarkan bahkan istana presiden ikut terendam air.
Saat bersamaan, banjir juga juga melanda seantero tanah air hingga menyebabkan tanah longsor yang merobohkan sejumlah rumah dan menewaskan warga. Para turis yang sekadar ingin berlibur pun terpaksa harus gigit jari.
Pertanyaannya, apakah aneka tantangan ini menjadikan kita sebagai bangsa dan individu yang makin tangguh seperti Jepang atau malah menciptakan pesimisme? Apakah tantangan merupakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas atau justru membuat nyali ciut dan kemudian menyerah begitu saja sebelum bertanding?
Selama ego belum disingkirkan jauh-jauh, seruan untuk sesegera mungkin mengatasi perubahan iklim hanya menjadi angin lalu.
Itu sebabnya upaya dunia menyatukan suara dalam mengurangi dampak perubahan iklim seringkali menemui jalan buntu, terutama pada level pemerintah. Kepentingan “nasional” masih menjadi alasan utama meski tak ada yang menampik bahwa mencegah dampak buruk perubahan iklim sesungguhnya menjadi kepentingan negara manapun. Bagaimanapun, kita hidup dalam satu bola dunia yang sama.
Lakukanlah apa yang dapat Anda lakukan.
Tulisan dengan contoh kasus perubahan iklim ini tak bertujuan melemparkan kritik pedas dan tajam pada siapapun namun untuk menggerakan kesadaran setiap pembaca: kita semua. Kita tidak dapat memaksa orang lain melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan, namun kita dapat memaksa diri melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Jika tidak ingin melihat Indonesia terpuruk, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir seluruh lapisan masyarakat yang kuncinya datang melalui pendidikan dibarengi teladan para pimpinan, pendidik, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, dan seluruh elit yang duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Tanpa disertai teladan, apa yang diajarkan hanya menjadi pepesan kosong. Ia tak lebih dari retorika atau perkataan motivasi yang belum tentu berkuasa mengubah keadaan.
Bayangkan jika saat ini pemerintah menggalakkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup tapi pada saat bersamaan memberikan ijin bagi pengusaha untuk membuka lahan-lahan baru secara tidak bertanggung jawab. Bayangkan pula jika kita mengaku sebagai aktivis lingkungan hidup yang aktif membuat kegiatan dimana-mana, namun dalam keseharian masih membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah.
Para pendidik perlu memberi teladan untuk melahirkan generasi muda yang cinta lingkungan. Para pengusaha perlu memberi teladan dengan tidak mengeksploitasi lingkungan demi profit semata. Para aparatur negara perlu memberi teladan sebagai pelayan masyarakat. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi teladan nyata lewat tindakan dan keseharian.
Inilah hakikat ‘Etika Lingkungan‘ dalam spektrum bernegara: sederhana tapi butuh perjuangan kuat dan komitmen terus menerus buat mewujudkannya.
Etika Lingkungan artinya revolusi mental yang datang dari mentalitas diri kita. Artinya, seharusnya datang dari diri sendiri, bukan karena program pemerintah semata. Jika mental kita sudah terevolusi, tugas selanjutnya adalah menjadi inspirasi bagi orang lain agar mereka pun mengalami revolusi serupa. Menginspirasi artinya memberi contoh melalui perbuatan, bukan perkataan semata.
Pilihan untuk mewujudkan Etika Lingkungan kini ada di tangan Anda.

Selasa, 10 Januari 2017

Bersih-bersih Pantai di Karangsong dan Cetak Rekor Minum Sirup Mangrove

Anak-anak usia sekolah dasar yang berasal dari SDN Karangsong 01, 
SDN Unggulan dan SDN Pabean Udik 2 juga turut andil dalam pembersihan pesisir. 
(Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Terik matahari yang menyengat siang itu tak menyurutkan animo masyarakat untuk hadir ke pesisir Karangsong, Indramayu, Jawa Barat. Anak-anak hingga orang dewasa terlihat memenuhi setiap sudut tepian pantai. Mereka berdatangan dengan semangat untuk hadir dalam acara pembersihan sampah-sampah yang tercecer di pinggiran laut.

Bak tumpah ruah, berbagai kegiatan terpusat disini. Seperti lomba mewarna bagi anak-anak, cek pengobatan gratis, menggambar tong sampah, hingga acara yang dinanti-nanti yakni minum sirup mangrove hingga memecahkan rekor muri. Peserta pecah rekor muri ini mencapai 1000 peserta terdiri dari pekerja Pertamina, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), warga, pelajar, dan relawan. Acara juga dimeriahkan dengan bazaar UMKM dan sekolah binaan Pertamina,

Pembersihan pantai dipimpin langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, bersama Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam, Bupati Indramayu Anna Sopanah. Setelah acara dimulai, masyarakat terlihat sangat antusias dalam memunguti sampah yang mengotori pantai. Dengan diberikan wadah plastik, masyarakat menyebar ke sekitar pantai agar sampah dapat dibersihkan secara merata.

Anak-anak usia sekolah dasar yang berasal dari SD N Karangsong 01, SD N Unggulan dan SD N Pabean Udik 2 juga turut andil dalam pembersihan pesisir. Panasnya matahari tak mematahkan semangat anak-anak untuk mengambil sampah di tepian pantai.  

Acara yang berlangsung pada Sabtu (10/12) lalu tersebut merupakan bagian dari peringatan HUT Pertamina ke-59. Kegiatan ini juga termasuk dalam program Pemberdayaan dan Pembersihan Pantai Kampung Nelayan yang dilakukan di lima lokasi secara serentak.
Perlu diketahui Balongan adalah salah satu dari lima lokasi pelaksanaan program secara serentak. Lima lokasi yang menyelenggarakan acara serupa yaitu Pantai Kampung Bugis, Tanjung Uban, Kepulauan Riau;Pantai Kampung Atas Air, Balikpapan, Kalimantan Timur;Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah;dan Pantai Grand Watu Dodol, Banyuwangi, Jawa Timur.

Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih peduli dengan kelestarian lingkungan pesisir pantai, khususnya dengan menjaga kebersihannya. Selain itu, melalui beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan, termasuk di Balongan, dapat menjadi bukti komitmen Pertamina pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan di sekitar pesisir melalui program Corporate Sosial Responsibility (CSR) maupun Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dengan momentum HUT perusahaan.

“Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor energi dengan sebagian wilayah operasinya bersentuhan dengan pantai, Pertamina merasa ikut bertanggung jawab terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan yang berada di sekitar wilayah operasi perusahaan. Untuk itu, tidak hanya bersih-bersih pantai tetapi kami juga melakukan beberapa program kegiatan CSR dan PKBL di Balongan,” kata Syamsu Alam.

Program Pemberdayaan dan Pembersihan Pantai Kampung Nelayan di Balongan dilaksanakan dengan beragam aktivitas. Selain pembersihan pantai, sekaligus dilaksanakan peresmian Arboretum Mangrove. Program Arboretum Mangrove dirancang untuk menambah sarana pendidikan bagi masyarakat umum terutama  kalangan akademis dalam melakukan penelitian dan pembelajaran mengenai mangrove. Di Abroretum ini terdapat 23 varietas mangrove dan tanaman vegetasi pantai yang akan terus dikembangkan.

Dalam sambutannya saat acara pembersihan pantai di Indramayu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa pendekatan untuk pengelolaan pesisir dan pantai yang terintegrasi tak hanya untuk jangka pendek, tetapi juga harus untuk jangka panjang.

Ia juga menekankan pentingnya informasi dan pendekatan multi displin serta pengelolaan kepentingan berbagai penggunaan di wilayah pesisir. "Kita melihat ada hal-hal penting untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir, dan yang paling utama adalah dukungan serta keterlibatan masyarakat,” ujarnya.

Untuk upaya konservasi memang keterlibatan masyarakat dengan pihak-pihak pengelola kepentingan bisnis harus saling berkesinambungan dan mendukung. Komunikasi baik ini telah dibangun oleh Pertamina dengan masyarakat Indramayu. Setelah musibah tumpahnya minyak di pesisir Indramayu pada tahun 2008. Tentunya musibah ini mengakibatkan dampak kerusakan yang diderita perusahaan maupun masyarakat.

Setelah musibah itu, Pertamina mengajak masyarakat untuk mengembalikan keadaan alam yang terkena tumpahan minyak dengan menanam pohon mangrove sebagai pemulihan. Atas rekomendasi Tim Ahli dari IPB, sebanyak 4 kecamatan dan 17 desa dengan luas sekitar 343 perlu dipulihkan dengan cara penanaman mangrove dan vegetasi pantai lainnya sepeti pohon kelapa, nyamplung, atau juga cemara laut.

Pertamina RU VI Balongan pada tahap awal tahun 2010-2013 menyediakan bibit mangrove untuk memulihkan keadaan lingkungan. Bibit mangrove ini nantinya akan ditanam di Desa Juntinyuat (10.000 bibit), Desa Majakerta (5.000 bibit), Desa Balongan (10.800 bibit), Desa Karangsong (15.000 bibit), Desa Brondong (5.000 bibit) dan Desa Eretan (5.000 bibit).
Berkat kesadaran warga untuk menyeimbangkan alam yang terdampak minyak tumpah dengan menanam mangrove. Kini hutan mangrove di Karangsong menjadi wisata baru bagi masyarakat. Kawanan bangau pun sudah menjadikan hutan ini menjadikannya rumah.
Wisata hutan mangrove ini menyediakan 1,4 kilometer track ekowisata di mangrove Karangsong. Tentunya wisata ini juga menguntungkan masyarakat sekitar dari segi ekonomi. Banyak nelayan sekarang beralih menjadi penyewa jasa kapal bagi wisatawan yang berdatangan.

“Kami sangat berharap apa yang dilakukan Pertamina hari ini dapat betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tidak hanya hari ini namun juga di masa mendatang. Apa yang diinisiasi Pertamina dengan menggalang peran aktif masyarakat  hari ini hanya sebuah bentuk upaya menggugah kesadaran warga sekitar pantai untuk lebih peduli akan kesehatan lingkungannya yang sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang baik apabila dilestarikan,” tutup Syamsu Alam.

Senin, 09 Januari 2017

Hampir Seluruh Kehidupan di Bumi Telah Terdampak Perubahan Iklim

Diperkirakan 30 persen dari terumbu karang di planet ini telah binasa akibat kenaikan suhu laut,
akibat El-Nino dan pengasaman. (Thinkstock)

Berdasarkan laporan jurnal Science, sebanyak 82 persen proses biologis kunci yang diperlukan dalam menjaga ekosistem yang sehat telah terpengaruh oleh fenomena perubahan iklim. Perubahan itu telah terasa, meskipun suhu planet ini hanya meningkat satu derajat Celcius dibanding masa sebelum era industri.

“Kita telah melihat salamander menyusut ukurannya, kita melihat burung yang bermigrasi mengubah rutenya, kita melihat spesies kawin silang sekarang, hanya karena Bumi sedikit menghangat,” kata James Watson, profesor di University of Queensland dan penulis senior.
Tingkat pemanasan yang  melebihi 2 derajat Celcius akan menyebabkan berbagai peristiwa meresahkan lain, seperti mencairnya gletser, kenaikan air laut, cuaca ekstrim dan wabah penyakit. Selain dampak buruk bagi umat manusia, perubahan ini secara drastis akan mengubah biologi di seluruh dunia.

“Bukan hanya satu atau dua spesies di satu atau dua tempat, tetapi seluruh sistem dan seluruh proses. Semua yang hidup di dalam sistem itu hampr dapat dipastikan mengalami perubahan perilaku, cara hidup dan cara bergerak,” tutur Watson.

Watson mengatakan, dalam laporan itu, tidak hanya ada petaka dan kesuraman saja. Ia mencatat, masih ada waktu, meski terbatas, untuk bertindak melindungi lingkungan dan berinvestasi di sektor energi terbarukan.

“Tidak ada keraguan, bahwa kita sedang berada dalam pemanasan dramatis. Kita benar-benar menuju era iklim yang di luar batas normal. Dengan tambahan pemanasan satu derajat lagi, hampir 100 persen spesies terpengaruh, yang tidak kita ketahui ialah bagaimana spesies bereaksi,” pungkasnya.

Sumber

Sabtu, 07 Januari 2017

Lautku Sayang, Lautku Meradang


Agus Supangat, Mantan Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Sekarang bekerja di Regional Climate Projections Consortium and Data Facility in Asia and the Pacific. Tulisan ini merupakan opini penulis.   

 Keanekaragaman laut terus tergerus
Komponen laut berupa jutaan spesies tumbuhan dan hewan harus bekerja
Kalau dibiarkan habis, laut pun meradang
Mungkin ia tak lagi dapat mendukung kehidupan

Ibarat orkestra, sekelompok peneliti dari Universitas Dalhousie, Halifax, Kanada, memainkan konsistensi teori, eksperimen, dan observasi di sepanjang skala dan ekosistem yang berbeda dengan harmonis. Kelompok ini bermain dengan 32 eksperimen secara terkontrol, juga mengamati 48 wilayah perlindungan laut dan data tangkapan ikan serta invertebrata di seluruh dunia sepanjang tahun 1950 – 2003 dari lembaga pangan dunia.
Mereka pun menggunakan data dalam rangkaian waktu selama 1.000 tahun di 12 daerah pesisir yang meliputi arsip, perikanan, sedimen, dan arkeologi. Hasilnya, laut sedang meradang dan harus ”turun mesin” pada tahun 2050.
Peran Spesies Laut
Jurnal Science Vol. 314 (3 November 2006) menulis bahwa para pakar ekologi dan ekonomi mengingatkan bahwa hilangnya keragaman hayati akan secara ekstrem menurunkan kemampuan laut untuk memproduksi makanan, menjaga daya tahan terhadap penyakit, menyaring polutan, dan memulihkan diri dari tekanan seperti perubahan iklim.
Hilangnya tiap spesies menyebabkan pemisahan secara cepat dari keseluruhan ekosistem. Sebaliknya, pertumbuhan tiap spesies secara nyata meningkatkan produktivitas dan stabilitas keseluruhan ekosistem dan kemampuannya bertahan terhadap tekanan. Gambaran ini terjadi di seluruh lautan. Hasil yang di luar perkiraan ini begitu mengejutkan dan mengganggu.
Teluk Pemuteran, salah satu contoh terbaik pengelolaan laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat di Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi
Teluk Pemuteran, Bali Utara. Foto: Aji Wihardandi
Selama empat tahun, semua data mengenai spesies laut dan ekosistem diuji. Rangkaian data historis baik eksperimen, perikanan, maupun pengamatan pun disintesa untuk mengetahui pentingnya keragaman hayati pada skala global. Sungguh mencengangkan. Hilangnya keragaman hayati secara progresif tidak hanya merusak kemampuan laut memberi makan manusia yang jumlah populasinya terus meningkat, tapi juga merusak stabilitas lingkungan laut dan kemampuannya untuk memulihkan diri dari berbagai tekanan.

Selama ini, manusia mengagumi organisme laut karena ukuran, warna, wujud, keganasan, kekuatan, sekaligus keindahannya. Masalahnya, tumbuhan dan hewan yang tinggal di dalam laut tak cukup hanya dikagumi. Kita harus menjaga keseimbangan mereka karena berdampak langsung terhadap kesehatan laut dan keberadaan manusia.
Yang melegakan adalah fakta bahwa ekosistem laut masih mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk kembali sehat, walau kecendurangan global saat ini menunjukkan laut sedang meradang. Ibarat mesin, hampir semua komponennya yang berupa spesies laut mengalami penurunan 90 persen pada tahun 2050. Laut semakin panas temperaturnya, semakin asam, dan semakin berkurang oksigennya.
Meradangnya laut juga dipercepat penurunan seluruh kesehatan ekosistem: ikan bergantung kepada air bersih, populasi mangsanya dan habitat yang beragam berkaitan dengan sistem keragaman yang lebih tinggi. Resiko kesehatan manusia juga muncul saat terjadinya kerusakan ekosistem pesisir, maraknya spesies pendatang, ledakan penyakit, dan serbuan algal bloom yang berbahaya.
Laut merupakan mesin daur ulang yang besar. Laut membawa limbah dan mendaurnya menjadi nutrien, mencuci racun keluar dari air, memproduksi makanan dan mengubah karbondioksida (CO2) menjadi makanan dan oksigen. Tapi dalam rangka menyediakan jasa tersebut, laut membutuhkan seluruh komponennya bekerja, yaitu jutaan spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di laut.
Nyatanya, penurunan spesies laut meningkat cepat selama 1.000 tahun terakhir yang berakibat hilangnya kapasitas penyaringan biologis, habitat plasma nuftah, dan perikanan yang sehat.
Mesin alam tersebut mengingatkan manusia untuk lebih peduli terhadap produksi bahan pangan dari laut (ikan maupun hasil laut lainnya) yang diperkirakan akan mengalami gangguan sangat besar dengan munculnya perubahan pola arus, temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan seterusnya.
Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012).  Berdasarkan kajian yang sama, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut.
Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy
Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.Foto: The Nature Conservancy
Uji terhadap wilayah perlindungan laut diseluruh dunia menunjukkan bahwa pulihnya keragaman hayati akan meningkatkan produktivitas empat kali lipat dan membuat ekosistem rata-rata meningkat daya tahannya terhadap fluktuasi yang disebabkan lingkungan dan manusia. Data menunjukkan bahwa untuk memperbaikinya belum terlambat. Saat ini, kurang dari 1% lautan global yang dilindungi secara efektif.
Memperbaiki keragaman hayati laut dapat dilakukan melalui pengelolaan sumber daya berbasis ekosistem, termasuk pengelolaan perikanan yang terintegrasi, pengontrolan polusi, perlindungan habitat penting dan pembuatan wilayah perlindungan laut. Langkah tersebut penting untuk menghindari tekanan serius terhadap keamanan pangan global, kualitas air laut, dan stabilitas kehidupan laut.
Saatnya Memperhatikan Laut
Kejadian tersebut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang terbukti telah terjadi secara perlahan (slow onset) di Indonesia (Kompas.com, 1 April 2013). Dari berbagai kejadian yang telah teridentifikasi di Indonesia, sebagian besar berkaitan erat dengan aspek kelautan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena dua alasan.
Pertama, laut memiliki arti dan fungsi besar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Laut bukan saja merupakan sarana transportasi antar pulau. Bagi Indonesia, laut juga merupakan salah satu habitat utama keragaman hayati laut tropis di dunia serta sumber bahan pangan yang sangat penting.
Kedua, laut merupakan salah satu penggerak utama mesin iklim dan cuaca di Indonesia. Artinya, perubahan pada laut berpengaruh besar terhadap iklim dan cuaca. Peningkatan frekuensi, intensitas mesin iklim dan cuaca ekstrem (rapid onset) serta kejadian slow onset di Indonesia membuat aspek kelautan dan perikanan menghadapi potensi permasalahan yang perlu diperhatikan secara khusus.
Implikasi permasalahan yang timbul pada aspek kelautan dan perikanan sangat berpotensi menimbulkan kerugian dan kerusakan (loss and damage) yang besar di Indonesia. Cakupan loss and damage akibat permasalahan ini juga akan merambat pada sektor-sektor lainnya.
Sebagai contoh, pengasaman laut akan menyebabkan turunnya produksi perikanan dan hasil-hasil laut lain yang menjadi salah satu sumber bahan pangan sekaligus mata pencaharian penting terutama bagi masyarakat pesisir yang berjumlah 42 juta jiwa.
Pada tahap lebih lanjut, masalah ini akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat hingga ketahanan pangan nasional berbasis hasil laut.
Upaya adaptasi Indonesia terhadap perubahan iklim bukan lagi bertujuan menjaga kelangsungan hidup rakyat serta keberlanjutan pembangunan nasional semata. Loss and damage memberikan dimensi baru yang memerlukan strategi dan pendekatan lebih maju dalam menghadapi kejadian rapid onset dan slow onset.
Sebagai bagian dari dampak merugikan perubahan iklim, kejadian “slow onset” dibedakan dari “rapid onset” dan mendapatkan perhatian yang lebih besar. Kajian teknis membagi dampak perubahan iklim ke dalam dua kategori besar, yaitu akut dan kronis.
Untuk itu, perlu rencana aksi pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan etika dalam upaya menghadapi permasalahan tersebut.

Sumber